Monday, July 22, 2013

Never be too far.

"Bayangin deh kisah percintaannya matahari sama bulan.."

"Sejak kapan matahari sama bulan pacaran?" Leo mengalihkan perhatiannya dari minuman kesukaannya, hot chocolate, ke wanita kesukaannya, Viona.

"Oh boy.. Just imagine it.. Matahari sama bulan sepasang kekasih, tapi kasian mereka bertemu cuma sekian menit setiap harinya, pas sunset dan sunrise.. Padahal mereka ada di satu langit, tapi mereka jarang banget bisa ketemuan.. just like us nanti.. " Ujar Viona sembari melihat ke langit, berharap bulir-bulir air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya tidak tumpah ruah. 

Mereka duduk di taman rumah Viona, taman ini asri, sejuk, ditemani dengan dua hot chocolate yang diharapkan dapat mampu mengimbangi hati sepasang kekasih yang tidak lama lagi akan terpisahkan oleh jarak. Sore ini Leo mengunjungi Viona untuk mengucapkan salam perpisahan, Leo ditugaskan untuk dinas kantor selama 3 bulan di London. Memang sih, sudah ada teknologi skype, whatsapp, line, path. Tapi....

"Tapi, lihat deh langit setiap sore... ketika mereka berpapasan di langit, even cuma sebentar, 2 menit, 3 menit, look what happens.... they always make a super romantic love diatas sana.. Warna langit yang begitu indah, cuma bisa ditonton pas kapan? when the sun kisses the moon.." Ujar Leo dengan tampang yang serius namun dengan sorot mata yang lembut. 

"Mereka memang mungkin jarang bertemu, jarang menghabiskan waktu bersama, jarang bersenda gurau, jarang berkomunikasi, but when they do, seluruh dunia terpesona akan keindahannya.." Lanjut Leo sambil memeluk Viona. Air mata yang selama ini ia tahan pun akhirnya tumpah juga.

"I won't be that far Vio.."

Saturday, July 20, 2013

Bahagia itu murah.

"Ter! Liat deh kalau yang ini lucu gak?" Tanya Fonda sembari mengambil mini dress berwarna cream bercorak bunga-bunga dari deretan dress yang lain. 

"Mumpung lagi sale nih! Lumayan loh discount 20 persen yang ini!" Lanjutnya sambil berkaca mencoba mencocokan baju pilihannya tersebut di badannya.

Hari ini sale masih bertebaran di mall yang Fonda dan Tere datangi, mungkin masih dalam suasana ulang tahun Jakarta, atau memang itu hanya trik marketing para toko untuk menggaet para pembeli. Awalnya mereka hanya ingin membeli beberapa peralatan untuk keperluan kampus di toko buku, tapi bukan Fonda namanya kalau belum terjerat untuk masuk ke toko pakaian dengan tulisan SALE yang besar tertera di kaca depan.

"Emank jadi berapa harganya?" Tere bertanya sembari bermain candy crush di iphone-nya. Bagi Tere, selama dia masih memiliki baju yang layak dalam lemarinya dan semuanya masih bagus dikenakan, buat apa menghamburkan uang untuk membeli barang dengan alasan lucu. Namun Tere tau tidak begitu dengan sahabatnya Fonda yang cukup gila belanja, dan agar Fonda tidak kecewa, Tere tetap berusaha untuk menyimak namun tentu saja permen, jelly dan coklat di games candy crush lebih menarik untuk dipecahkan.

"Jadi 499.000 Ter! Beli gak ya? Warnanya lucu banget, liat deh terus kerahnya juga lucu banget, keliatan elegan sweet banget kalau gwe pake.. Beli gak ya? Tapi kemaren gwe baru beli dress warna item, terus minggu lalu baru beli mini skirt di Zara sama sepatu.. aaaaa.. Bingung.." Cerocos Fonda panjang lebar. Tere tau benar apa yang harus dia lakukan disaat Fonda sudah mulai memasuki masa labilnya seperti ini. Mendengarkan dan...

"Ikutin aja kata hati lo Fon, kalau butuh beli, kalau enggak yaudah.." Kalimat pamungkas Tere selalu berhasil membuat Fonda menatap selama kurang lebih 10 detik terhadap barang apapun yang ia akan beli, lalu kemudian dengan lesu meletakkan kembali barang tersebut ke etalase toko. Begitu pula sore ini.

...

"Tante, minta duitnya tante, untuk keperluan sekolah dan makan.." Seorang anak kecil yang berdiri di sebelah mobil Fonda mengagetkan mereka dan membuat pembicaraan seru mereka terhenti sejenak. Anak kecil tersebut terlihat sangat lusuh, masih sangat muda mungkin sekitar 6 tahun, dan perempuan. Tega sekali orang yang menyuruh anak ini mengemis di jalan raya seperti ini.

Fonda mengambil lima ribuan yang terselip di kantongnya dan memberikannya kepada anak ini, dan tanpa diduga, anak ini meloncat kegirangan melihat uang yang sekarang ada di tangannya. Ia mendapat lebih dari yang ia harapkan, seakan dalam sekejap kelesuhan yang terpancar dari wajahnya hilang hanya dengan uang lima ribu rupiah. 

"Terima kasih tante terima kasih banyak.." Ujar anak itu berulang-ulang kali lalu ia pergi.

TIN!TIN!

Lampu hijau sudah menyala, Fonda melajukan kembali mobilnya sambil tersenyum, rasanya seperti dermawan yang kaya raya hanya karena melihat ekspresi pengemis kecil yang melonjak kegirangan mendapat lima ribu rupiah.

"Memberi lima ribu itu ternyata lebih membahagiakan ya Ter daripada beli dress seharga lima ratus ribu.. I should do this often.." Ujar Fonda diiringi senyum bangga sahabatnya.

Thursday, June 6, 2013

From afar


Malam ini langit kelihatan enggan memancarkan keindahannya, gelap sepi tanpa bintang, seperti mencerminkan hati seorang gadis yang sedang menatapnya, Lista. Tatapannya kosong memandang langit, berbanding terbalik dengan pikirannya yang penuh dan kacau.

"I miss you Bri.." Gumam Lista.

"I miss you too Lis.." Ucap seorang pria di sampingnya perlahan. 

"It's been a year since you've left.. and i don't even know how to heal my heart, how to forget things about you, how to move on with my life, it seems everywhere i go reminds me of you.." 

Lista melanjutkan kata-katanya sambil terus memandang ke langit, menyeka air mata yang tanpa sadar mengalir di pipinya.

"I know..." Ingin rasanya Brian memeluk erat Lista, memastikan bahwa wanita yang dicintainya itu baik-baik saja, setidaknya pelukan hangatnya akan mengurangi sedikit beban Lista.

"I just want you to know, that i love you more than you could imagine.. I keep watching you from afar, i keep take care of you, meskipun sekarang kita udah gak bersama.." Lanjut Brian sambil menatap wajah Lista yang masih memandang ke arah langit. 

Hati Brian hancur rasanya, ia yakin Lista merasakan hal yang sama. Hati mereka ingin menyatu, secara raga mereka ingin bersama, namun apa daya jika takdir mengatakan hal yang berbeda.

"I have to go now.. I just want you to know, to feel, kalau aku gak akan kemana-mana Lis.. Aku akan selalu mengunjungi kamu, di malam-malam seperti ini, when i feel you need me the most.. Meskipun kamu sekarang gak melihat aku secara nyata, but i know, you feel me.. dan satu hal, i keep watching you from afar.." 

Brian perlahan berjalan menjauhi Lista yang masih berlinangan air mata. Kali ini lagi-lagi tanpa pelukan, tanpa ciuman dan tanpa salam perpisahan, Brian sekali lagi pergi, namun ia tahu, di malam-malam berikutnya, ia akan kembali untuk Lista, untuk memastikan wanita yang ia cintai baik-baik saja.

Kecelakaan naas tahun lalu menghancurkan impian Brian dan Lista untuk selamanya bersama. Mobil yang mereka kendarai ditabrak truk besar dari belakang. Brian yang kala itu menyetir terjepit kursi dan meninggal seketika, sementara Lista menderita gegar otak ringan yang lima bulan kemudian sembuh. Mungkin itu yang namanya manusia boleh berencana, namun Tuhan yang menentukan.

Monday, May 6, 2013

Fight for us.


Tidak ada yang namanya kebetulan bukan? Bukankah semua yang terjadi di dunia sudah dirancangkan oleh Yang Maha Kuasa? Termasuk pertemuan tidak disengaja yang terjadi dua hari lalu di sebuah kedai kopi di mall ternama. Pertemuan yang membuat dua insan yang lama tidak berhubungan kembali berjumpa. Dalam sekejap segala memori indah dan penuh kenangan beberapa tahun silam kembali mengusik relung hati terdalam. 

"Lucu juga ya bisa kebetulan banget elo juga lagi beli kopi kemaren itu.." Suara bass Robby memecah keheningan. 

Sudah 5 menit lebih mereka duduk dalam diam di kedai kopi yang sama ketika mereka bertemu beberapa hari lalu. 

"Iya.. hahaha.." Shenna menjawab dan berusaha untuk tidak terlihat canggung, dan gagal.

"So, how's life?" Tanya Robby memancing percakapan yang lebih dari sekedar iya, tidak, dan tawa yang dipaksa.

"Good. How's yours?" 

"Never been any worse since the day you left me.." Jawaban Robby spontan membuat Shenna terkejut, namun dengan gayanya yang tenang, ia menyeruput Green Tea Latte-nya. Mencoba berpikir jawaban apa yang paling tepat untuk meresponi kalimat yang muncul tanpa saringan dari mulut Robby. 

Robby pun tak pernah bermaksud mengorek luka lamanya dengan mengeluarkan statement itu, namun ternyata hati dan pikirannya tidak bisa bekerja sama. Hatinya terlalu susah untuk menahan diri, mengatakan yang sejujur-jujurnya, betapa waktu itu lima tahun silam, hatinya hancur.

"You asked me to leave.." Balas Shenna dengan nada datar, berusaha meredam segala perasaannya yang kembali bergejolak.

"I never meant to.. You should have known it.."

"No one can read someone's mind.. I was too tired to fight for us that day, and when you asked me to leave, then i did.. even it was hurt at that time.." Senyum Shenna mengembang, masih manis seperti dulu.

Kemudian suasana menjadi dingin dan canggung lagi. Kedai kopi yang ramai sore itu tetap tidak bisa mengalahkan sunyinya jarak di antara mereka. Green Tea Latte Shenna dan Cappucino hangat kesukaan Robby tetap tidak bisa menghangatkan hati mereka berdua. Kembali mereka duduk dalam kesunyian. Memang benar apa yang orang bilang, satuan jarak paling jauh bukanlah kilometer, atau mil. Namun jarak paling jauh adalah ketika mereka duduk berdekatan, namun mereka tau, hati mereka tidak akan pernah bisa menyatu.

I won't give up on us, even if the sky gets rough, giving you all my love, i'm still looking up..

Alunan merdu suara Jason Mraz yang berasal dari radio kedai kopi sore itu memecah keheningan di antara mereka. Pikiran Robby semakin kusut dibuatnya, seandainya saja waktu itu, Jason Mraz sudah menciptakan lagu ini, seandainya saja waktu itu, ia mengikuti kata hatinya untuk menahan Shenna untuk tidak pergi. Seandainya saja waktu itu, Robby berhasil merendahkan egonya dan mendengar penjelasan Shenna, dan beribu seandainya yang tercipta di benaknya, seandainSya saja Shenna, gadis yang selalu ada di hatinya sejak lima tahun lalu, gadis berparas cantik dan manis itu masih ada di sisinya, masih berkenan tinggal di hatinya. 

"Shenna, here you are.. I was looking for you, bb kamu mati ya? Tadi katanya cuma ketemu temen sebentar? Yuk, nanti kita gak sempet cari-cari cincin loh dear.." Suara seorang pria membuyarkan lamunan Robby. Dear? Apa ia tidak salah dengar?

"Yes babe, sori my bb abis batere, ini kenalin, Robby, temen SMA aku dulu.. the one i ever told to you.. Robby, ini Dave, my fiance.."

Fiance? Robby hanya bisa menelan ludah yang terasa pahit di lidahnya. Ia tersenyum dan menjulurkan tangannya kepada pria berwajah tampan, berpakaian rapi, dan wangi di depannya. Tipikal Shenna sekali pria ini.

"Sori yah ganggu obrolan kalian, but we have to go.. Kita mesti liat-liat cincin buat our wedding tiga bulan lagi.." Kata Dave sambil tersenyum lebar dan memeluk tunangannya itu. 

"I have to go now.. Nanti undangannya i send your home ya.. Bye Rob, have a nice day ahead.." Shenna berdiri dari tempat duduknya, menyeruput sisa Green Teanya dan beranjak pergi meninggalkan Robby yang tidak sempat berkata-kata, hanya senyuman terpaksa dan lambaian tangan yang kaku yang bisa ia berikan kepada pasangan kekasih di depannya itu.

Robby kembali sendiri. Ia menghabiskan capucinno di hadapannya dengan enggan.
Beepbeep! Suara handphone Robby berbunyi.

One new message.

When you love someone, fight for her. When your ego wins, you lose your love. And sorry, our chances were finished. I am happy now with my life, and i wish happiness for you too. good luck in finding your new love, Rob. -Shenna-

Monday, April 22, 2013

triangle.


"Ra... i think i'm in love..."

Bisik Kesha perlahan sambil membolak-balik halaman dari buku yang sama sekali tidak ia baca sedari tadi. Pikirannya jauh melanglang buana meninggalkan badannya yang tertinggal di perpustakaan sekolah.

"Don't you dare say with whom..." 

Ancam Dira, sambil menutup kamus Bahasa Inggris di depan
nya yang tidak lagi terlihat menarik dibandingkan dengan kalimat yang meluncur drastis dari mulut sahabatnya itu.

"Yap.. with him.."

"But you said elo gak akan pernah suka sama dia, gak akan pernah bisa suka sama sahabat sendiri.."

"Iya gwe pikirpun begitu... but then i was wrong.."

Kesha menundukkan kepalanya perlahan. Dulu dia pikir, tidak akan pernah jatuh cinta kepada Keenan, Keenan yang menyebalkan tapi sebenarnya perhatian. Keenan yang humoris namun kadang jayus total. Keenan yang pintar olahraga tapi sebenarnya tidak suka berkeringat. Keenan yang ketika memainkan senar-senar di gitarnya, mampu membuat Kesha terkagum-kagum. Keenan yang segala sesuatunya Kesha paham. Keenan yang terlalu sahabat dan bukan pacar bagi Kesha, dulu.

"What makes you realize you fall with him?" Tanya Dira memecah keheningan.

"I don't know.. He makes me smile, He makes me laugh, He makes me realize i need him, more than just a bestfriend.." Kesha mencoba menjawabnya serasional mungkin, tapi hanya kalimat itu yang keluar dari bibir tipisnya.

"Or maybe, elo cuma terbawa perasaan? Karena cuma dia lelaki yang ada di sekitar loe saat ini? Karena cuma dia yang memenuhi mata dan pikiran loe these days, these months?" Tanya Dira berusaha meyakinkannya. 

"Hm... maybe.." Kesha berusaha mencerna perkataan Dira, berusaha menggabungkan dengan perasaannya dan pikirannya. Mungkinkah memang hanya perasaan sesaat?

"well, if you still in doubt, coba diuji dulu dengan waktu, and see if you really love him, and He loves you too.. gimana? as a best friend, i support you.. gwe cuma gak mau loe salah mengartikan perasaan ini dan make a mistake in relationship again and again.." 

"hahahha diraa! you're the best! eniwei, gwe ke wc dulu ya, perpustakaan ini dingin banget!" 

Kesha melesat keluar dari perpustakaan menuju toilet, meninggalkan Dira yang kali ini gantian dia yang terdiam. Sambil bergumam Dira berkata kepada dirinya sendiri, "Gak Sha, you love whom i love, Gerry, Dylan, dan sekarang Keenan. Gwe mengalah terlalu sering.. and now i won't give up on him, never."

Adil?


I just wish, i were someone else"
 
Abby melangkah dengan lesu, menendang setiap apapun yang menghalangi jalannya. Dedaunan kering, kaleng soda bekas, bungkus plastik keripik kentang, apapun yang ditemuinya.
"Life is unfair" Gumamnya.
Seminggu ini Abby mengurung diri di kamarnya, baru hari ini dia memutuskan untuk menghirup udara yang setidaknya lebih segar daripada udara di kamar bernuansa coklat itu. Seminggu lalu, Abby baru saja diberitahu bahwa orangtuanya akan bercerai, dan sidangnya akan dimulai minggu depan. Beberapa hari sebelumnya, Gerry, pacar Abby memutuskan untuk break sejenak dari hubungan mereka dengan alasan memberi waktu untuk saling berinstropeksi.
Padahal Abby sungguh tau, bukan itu alasannya, Rizka, mahasiswi angkatan baru yang walaupun sulit untuk mengakui, memang, cantik. Pintar dansa, pintar matematika, atlet renang, guru piano klasik, dan segudang talenta lainnya, setidaknya itu yang ia dengar dari teman-temannya.

"Why God? Why me?" Tanya Abby sambil mengadahkan wajahnya ke langit. Walaupun ia tau ia tak akan mendapatkan jawabannya dengan menatap ke langit.

Abby memutuskan untuk duduk di pinggiran jalan, kakinya terlalu letih untuk berjalan, matanya terlalu letih untuk memperhatikan jalan.

5 menit berlalu,
10 menit berlalu,

Abby hanya terdiam. Seribu satu pertanyaan muncul di otaknya. Tanpa ia sadar, beberapa orang yang lalu lalang di sekitarnya memperhatikannya, namun tentu tidak menegurnya. Siapa yang berani menegur seorang gadis dengan rambut berantakan, sendal jepit, celana bolong-bolong dan mata yang sembab. 

"Permisi dek.." Seorang kakek memberanikan diri menyapa Abby, dengan senyumnya yang hangat meskipun mukanya terlihat sangat letih. Keriput-keriput di wajahnya membuat si kakek terlihat lebih tua dari umur aslinya. 

Abby meringis perlahan, ia mencoba untuk tersenyum, namun tak sanggup. 

"Kenapa dek, koq duduk disini sendirian?" Tanya kakek tua ini masih dengan senyuman khasnya. Kali ini senyumnya agak lebar, memperlihatkan beberapa giginya yang ompong.

Abby sungguh tidak ingin memulai percakapan dengan siapapun, apalagi dengan seorang kakek tua. Namun kalimat-kalimat di otak Abby terus menerus meminta wadah untuk dicurahkan.

"Kenapa hidup itu gak adil kek?"

Pertanyaannya itu meluncur dengan sendirinya dari mulut Abby. Membuat sang kakek menatap Abby sejenak, kemudian mengangguk perlahan seakan mengerti maksud Abby.

"Entahlah, namun yang kakek tau, Tuhan yang menciptakan hidup adalah Allah yang adil.."

Abby terdiam. Berusaha mencerna jawaban itu, namun hati kecilnya yakin itu jawaban yang salah. Kalau Tuhan itu adil, kenapa hidup tidak adil.

"Mungkin pandangan manusia terhadap kata 'adil' yang berbeda". Lanjut sang kakek.

"Buat kamu, adil adalah hidup damai, buat sebagian orang, adil adalah hidup kaya raya, dan buat sebagian lainnya, adil adalah hidup sehat. Semua punya pengertian sendiri terhadap kata adil. Kakek pun, tidak terlalu mengerti arti adil. Yang kakek tau, semua yang terjadi, Tuhan tau.. dan Dia punya alasan tersendiri mengapa hal itu diijinkan terjadi.."

Abby menelan ludah. Tak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh kakek tua ini. Sekarang ia paham arti 'banyak makan asam garam', kakek ini tentu salah satunya.

"Yang kakek yakini, pada suatu hari di kemudian hari, kakek akan mengerti, kenapa kakek harus mengalami hal-hal yang dulu kakek rasa tidak adil. Itu yang namanya iman, yakin akan sesuatu yang belum terlihat. Dan harapan, bahwa di depan sana akan ada sesuatu yang indah menanti.."

Sang kakek tersenyum ke Abby sekali lagi, menepuk pundak Abby dan mengambil dedauanan kering yang jatuh di sekitar tempat Abby duduk, botol plastik bekas air minum, bungkus plastik bekas tissue, dan kemudian ia berjalan beberapa langkah mengambil gerobaknya yang ia tinggalkan dari tadi.

"Kakek pergi dulu ya! Semangat dek!" Ujar sang kakek tua ini sambil menarik gerobak sampahnya yang kotor, bau, dan penuh kotoran, namun tetap dengan senyuman.