I just wish, i were someone else"
Abby melangkah dengan lesu, menendang setiap apapun yang menghalangi
jalannya. Dedaunan kering, kaleng soda bekas, bungkus plastik keripik
kentang, apapun yang ditemuinya.
"Life is unfair" Gumamnya.
Seminggu ini Abby mengurung diri di kamarnya, baru hari ini dia
memutuskan untuk menghirup udara yang setidaknya lebih segar daripada
udara di kamar bernuansa coklat itu. Seminggu lalu, Abby baru saja
diberitahu bahwa orangtuanya akan bercerai, dan sidangnya akan dimulai
minggu depan. Beberapa hari sebelumnya, Gerry, pacar Abby memutuskan
untuk break sejenak dari hubungan mereka dengan alasan memberi waktu
untuk saling berinstropeksi.
Padahal Abby sungguh tau, bukan itu alasannya, Rizka, mahasiswi angkatan
baru yang walaupun sulit untuk mengakui, memang, cantik. Pintar dansa,
pintar matematika, atlet renang, guru piano klasik, dan segudang talenta
lainnya, setidaknya itu yang ia dengar dari teman-temannya.
"Why God? Why me?" Tanya Abby sambil mengadahkan wajahnya ke langit. Walaupun ia tau ia tak akan mendapatkan jawabannya dengan menatap ke langit.
Abby memutuskan untuk duduk di pinggiran jalan, kakinya terlalu letih
untuk berjalan, matanya terlalu letih untuk memperhatikan jalan.
5 menit berlalu,
10 menit berlalu,
Abby hanya terdiam. Seribu satu pertanyaan muncul di otaknya. Tanpa ia
sadar, beberapa orang yang lalu lalang di sekitarnya memperhatikannya,
namun tentu tidak menegurnya. Siapa yang berani menegur seorang gadis
dengan rambut berantakan, sendal jepit, celana bolong-bolong dan mata
yang sembab.
"Permisi dek.." Seorang kakek memberanikan diri menyapa Abby, dengan
senyumnya yang hangat meskipun mukanya terlihat sangat letih.
Keriput-keriput di wajahnya membuat si kakek terlihat lebih tua dari
umur aslinya.
Abby meringis perlahan, ia mencoba untuk tersenyum, namun tak sanggup.
"Kenapa dek, koq duduk disini sendirian?" Tanya kakek tua ini masih
dengan senyuman khasnya. Kali ini senyumnya agak lebar, memperlihatkan
beberapa giginya yang ompong.
Abby sungguh tidak ingin memulai percakapan dengan siapapun, apalagi
dengan seorang kakek tua. Namun kalimat-kalimat di otak Abby terus
menerus meminta wadah untuk dicurahkan.
"Kenapa hidup itu gak adil kek?"
Pertanyaannya itu meluncur dengan
sendirinya dari mulut Abby. Membuat sang kakek menatap Abby sejenak,
kemudian mengangguk perlahan seakan mengerti maksud Abby.
"Entahlah, namun yang kakek tau, Tuhan yang menciptakan hidup adalah Allah yang adil.."
Abby terdiam. Berusaha mencerna jawaban itu, namun hati kecilnya yakin
itu jawaban yang salah. Kalau Tuhan itu adil, kenapa hidup tidak adil.
"Mungkin pandangan manusia terhadap kata 'adil' yang berbeda". Lanjut sang kakek.
"Buat kamu, adil adalah hidup damai, buat sebagian orang, adil adalah
hidup kaya raya, dan buat sebagian lainnya, adil adalah hidup sehat.
Semua punya pengertian sendiri terhadap kata adil. Kakek pun, tidak
terlalu mengerti arti adil. Yang kakek tau, semua yang terjadi, Tuhan
tau.. dan Dia punya alasan tersendiri mengapa hal itu diijinkan
terjadi.."
Abby menelan ludah. Tak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh kakek
tua ini. Sekarang ia paham arti 'banyak makan asam garam', kakek ini
tentu salah satunya.
"Yang kakek yakini, pada suatu hari di kemudian hari, kakek akan
mengerti, kenapa kakek harus mengalami hal-hal yang dulu kakek rasa
tidak adil. Itu yang namanya iman, yakin akan sesuatu yang belum
terlihat. Dan harapan, bahwa di depan sana akan ada sesuatu yang indah
menanti.."
Sang kakek tersenyum ke Abby sekali lagi, menepuk pundak Abby dan
mengambil dedauanan kering yang jatuh di sekitar tempat Abby duduk,
botol plastik bekas air minum, bungkus plastik bekas tissue, dan
kemudian ia berjalan beberapa langkah mengambil gerobaknya yang ia
tinggalkan dari tadi.
"Kakek pergi dulu ya! Semangat dek!" Ujar sang kakek tua ini sambil
menarik gerobak sampahnya yang kotor, bau, dan penuh kotoran, namun
tetap dengan senyuman.