Monday, April 22, 2013

triangle.


"Ra... i think i'm in love..."

Bisik Kesha perlahan sambil membolak-balik halaman dari buku yang sama sekali tidak ia baca sedari tadi. Pikirannya jauh melanglang buana meninggalkan badannya yang tertinggal di perpustakaan sekolah.

"Don't you dare say with whom..." 

Ancam Dira, sambil menutup kamus Bahasa Inggris di depan
nya yang tidak lagi terlihat menarik dibandingkan dengan kalimat yang meluncur drastis dari mulut sahabatnya itu.

"Yap.. with him.."

"But you said elo gak akan pernah suka sama dia, gak akan pernah bisa suka sama sahabat sendiri.."

"Iya gwe pikirpun begitu... but then i was wrong.."

Kesha menundukkan kepalanya perlahan. Dulu dia pikir, tidak akan pernah jatuh cinta kepada Keenan, Keenan yang menyebalkan tapi sebenarnya perhatian. Keenan yang humoris namun kadang jayus total. Keenan yang pintar olahraga tapi sebenarnya tidak suka berkeringat. Keenan yang ketika memainkan senar-senar di gitarnya, mampu membuat Kesha terkagum-kagum. Keenan yang segala sesuatunya Kesha paham. Keenan yang terlalu sahabat dan bukan pacar bagi Kesha, dulu.

"What makes you realize you fall with him?" Tanya Dira memecah keheningan.

"I don't know.. He makes me smile, He makes me laugh, He makes me realize i need him, more than just a bestfriend.." Kesha mencoba menjawabnya serasional mungkin, tapi hanya kalimat itu yang keluar dari bibir tipisnya.

"Or maybe, elo cuma terbawa perasaan? Karena cuma dia lelaki yang ada di sekitar loe saat ini? Karena cuma dia yang memenuhi mata dan pikiran loe these days, these months?" Tanya Dira berusaha meyakinkannya. 

"Hm... maybe.." Kesha berusaha mencerna perkataan Dira, berusaha menggabungkan dengan perasaannya dan pikirannya. Mungkinkah memang hanya perasaan sesaat?

"well, if you still in doubt, coba diuji dulu dengan waktu, and see if you really love him, and He loves you too.. gimana? as a best friend, i support you.. gwe cuma gak mau loe salah mengartikan perasaan ini dan make a mistake in relationship again and again.." 

"hahahha diraa! you're the best! eniwei, gwe ke wc dulu ya, perpustakaan ini dingin banget!" 

Kesha melesat keluar dari perpustakaan menuju toilet, meninggalkan Dira yang kali ini gantian dia yang terdiam. Sambil bergumam Dira berkata kepada dirinya sendiri, "Gak Sha, you love whom i love, Gerry, Dylan, dan sekarang Keenan. Gwe mengalah terlalu sering.. and now i won't give up on him, never."

Adil?


I just wish, i were someone else"
 
Abby melangkah dengan lesu, menendang setiap apapun yang menghalangi jalannya. Dedaunan kering, kaleng soda bekas, bungkus plastik keripik kentang, apapun yang ditemuinya.
"Life is unfair" Gumamnya.
Seminggu ini Abby mengurung diri di kamarnya, baru hari ini dia memutuskan untuk menghirup udara yang setidaknya lebih segar daripada udara di kamar bernuansa coklat itu. Seminggu lalu, Abby baru saja diberitahu bahwa orangtuanya akan bercerai, dan sidangnya akan dimulai minggu depan. Beberapa hari sebelumnya, Gerry, pacar Abby memutuskan untuk break sejenak dari hubungan mereka dengan alasan memberi waktu untuk saling berinstropeksi.
Padahal Abby sungguh tau, bukan itu alasannya, Rizka, mahasiswi angkatan baru yang walaupun sulit untuk mengakui, memang, cantik. Pintar dansa, pintar matematika, atlet renang, guru piano klasik, dan segudang talenta lainnya, setidaknya itu yang ia dengar dari teman-temannya.

"Why God? Why me?" Tanya Abby sambil mengadahkan wajahnya ke langit. Walaupun ia tau ia tak akan mendapatkan jawabannya dengan menatap ke langit.

Abby memutuskan untuk duduk di pinggiran jalan, kakinya terlalu letih untuk berjalan, matanya terlalu letih untuk memperhatikan jalan.

5 menit berlalu,
10 menit berlalu,

Abby hanya terdiam. Seribu satu pertanyaan muncul di otaknya. Tanpa ia sadar, beberapa orang yang lalu lalang di sekitarnya memperhatikannya, namun tentu tidak menegurnya. Siapa yang berani menegur seorang gadis dengan rambut berantakan, sendal jepit, celana bolong-bolong dan mata yang sembab. 

"Permisi dek.." Seorang kakek memberanikan diri menyapa Abby, dengan senyumnya yang hangat meskipun mukanya terlihat sangat letih. Keriput-keriput di wajahnya membuat si kakek terlihat lebih tua dari umur aslinya. 

Abby meringis perlahan, ia mencoba untuk tersenyum, namun tak sanggup. 

"Kenapa dek, koq duduk disini sendirian?" Tanya kakek tua ini masih dengan senyuman khasnya. Kali ini senyumnya agak lebar, memperlihatkan beberapa giginya yang ompong.

Abby sungguh tidak ingin memulai percakapan dengan siapapun, apalagi dengan seorang kakek tua. Namun kalimat-kalimat di otak Abby terus menerus meminta wadah untuk dicurahkan.

"Kenapa hidup itu gak adil kek?"

Pertanyaannya itu meluncur dengan sendirinya dari mulut Abby. Membuat sang kakek menatap Abby sejenak, kemudian mengangguk perlahan seakan mengerti maksud Abby.

"Entahlah, namun yang kakek tau, Tuhan yang menciptakan hidup adalah Allah yang adil.."

Abby terdiam. Berusaha mencerna jawaban itu, namun hati kecilnya yakin itu jawaban yang salah. Kalau Tuhan itu adil, kenapa hidup tidak adil.

"Mungkin pandangan manusia terhadap kata 'adil' yang berbeda". Lanjut sang kakek.

"Buat kamu, adil adalah hidup damai, buat sebagian orang, adil adalah hidup kaya raya, dan buat sebagian lainnya, adil adalah hidup sehat. Semua punya pengertian sendiri terhadap kata adil. Kakek pun, tidak terlalu mengerti arti adil. Yang kakek tau, semua yang terjadi, Tuhan tau.. dan Dia punya alasan tersendiri mengapa hal itu diijinkan terjadi.."

Abby menelan ludah. Tak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh kakek tua ini. Sekarang ia paham arti 'banyak makan asam garam', kakek ini tentu salah satunya.

"Yang kakek yakini, pada suatu hari di kemudian hari, kakek akan mengerti, kenapa kakek harus mengalami hal-hal yang dulu kakek rasa tidak adil. Itu yang namanya iman, yakin akan sesuatu yang belum terlihat. Dan harapan, bahwa di depan sana akan ada sesuatu yang indah menanti.."

Sang kakek tersenyum ke Abby sekali lagi, menepuk pundak Abby dan mengambil dedauanan kering yang jatuh di sekitar tempat Abby duduk, botol plastik bekas air minum, bungkus plastik bekas tissue, dan kemudian ia berjalan beberapa langkah mengambil gerobaknya yang ia tinggalkan dari tadi.

"Kakek pergi dulu ya! Semangat dek!" Ujar sang kakek tua ini sambil menarik gerobak sampahnya yang kotor, bau, dan penuh kotoran, namun tetap dengan senyuman.