Monday, April 22, 2013

Adil?


I just wish, i were someone else"
 
Abby melangkah dengan lesu, menendang setiap apapun yang menghalangi jalannya. Dedaunan kering, kaleng soda bekas, bungkus plastik keripik kentang, apapun yang ditemuinya.
"Life is unfair" Gumamnya.
Seminggu ini Abby mengurung diri di kamarnya, baru hari ini dia memutuskan untuk menghirup udara yang setidaknya lebih segar daripada udara di kamar bernuansa coklat itu. Seminggu lalu, Abby baru saja diberitahu bahwa orangtuanya akan bercerai, dan sidangnya akan dimulai minggu depan. Beberapa hari sebelumnya, Gerry, pacar Abby memutuskan untuk break sejenak dari hubungan mereka dengan alasan memberi waktu untuk saling berinstropeksi.
Padahal Abby sungguh tau, bukan itu alasannya, Rizka, mahasiswi angkatan baru yang walaupun sulit untuk mengakui, memang, cantik. Pintar dansa, pintar matematika, atlet renang, guru piano klasik, dan segudang talenta lainnya, setidaknya itu yang ia dengar dari teman-temannya.

"Why God? Why me?" Tanya Abby sambil mengadahkan wajahnya ke langit. Walaupun ia tau ia tak akan mendapatkan jawabannya dengan menatap ke langit.

Abby memutuskan untuk duduk di pinggiran jalan, kakinya terlalu letih untuk berjalan, matanya terlalu letih untuk memperhatikan jalan.

5 menit berlalu,
10 menit berlalu,

Abby hanya terdiam. Seribu satu pertanyaan muncul di otaknya. Tanpa ia sadar, beberapa orang yang lalu lalang di sekitarnya memperhatikannya, namun tentu tidak menegurnya. Siapa yang berani menegur seorang gadis dengan rambut berantakan, sendal jepit, celana bolong-bolong dan mata yang sembab. 

"Permisi dek.." Seorang kakek memberanikan diri menyapa Abby, dengan senyumnya yang hangat meskipun mukanya terlihat sangat letih. Keriput-keriput di wajahnya membuat si kakek terlihat lebih tua dari umur aslinya. 

Abby meringis perlahan, ia mencoba untuk tersenyum, namun tak sanggup. 

"Kenapa dek, koq duduk disini sendirian?" Tanya kakek tua ini masih dengan senyuman khasnya. Kali ini senyumnya agak lebar, memperlihatkan beberapa giginya yang ompong.

Abby sungguh tidak ingin memulai percakapan dengan siapapun, apalagi dengan seorang kakek tua. Namun kalimat-kalimat di otak Abby terus menerus meminta wadah untuk dicurahkan.

"Kenapa hidup itu gak adil kek?"

Pertanyaannya itu meluncur dengan sendirinya dari mulut Abby. Membuat sang kakek menatap Abby sejenak, kemudian mengangguk perlahan seakan mengerti maksud Abby.

"Entahlah, namun yang kakek tau, Tuhan yang menciptakan hidup adalah Allah yang adil.."

Abby terdiam. Berusaha mencerna jawaban itu, namun hati kecilnya yakin itu jawaban yang salah. Kalau Tuhan itu adil, kenapa hidup tidak adil.

"Mungkin pandangan manusia terhadap kata 'adil' yang berbeda". Lanjut sang kakek.

"Buat kamu, adil adalah hidup damai, buat sebagian orang, adil adalah hidup kaya raya, dan buat sebagian lainnya, adil adalah hidup sehat. Semua punya pengertian sendiri terhadap kata adil. Kakek pun, tidak terlalu mengerti arti adil. Yang kakek tau, semua yang terjadi, Tuhan tau.. dan Dia punya alasan tersendiri mengapa hal itu diijinkan terjadi.."

Abby menelan ludah. Tak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh kakek tua ini. Sekarang ia paham arti 'banyak makan asam garam', kakek ini tentu salah satunya.

"Yang kakek yakini, pada suatu hari di kemudian hari, kakek akan mengerti, kenapa kakek harus mengalami hal-hal yang dulu kakek rasa tidak adil. Itu yang namanya iman, yakin akan sesuatu yang belum terlihat. Dan harapan, bahwa di depan sana akan ada sesuatu yang indah menanti.."

Sang kakek tersenyum ke Abby sekali lagi, menepuk pundak Abby dan mengambil dedauanan kering yang jatuh di sekitar tempat Abby duduk, botol plastik bekas air minum, bungkus plastik bekas tissue, dan kemudian ia berjalan beberapa langkah mengambil gerobaknya yang ia tinggalkan dari tadi.

"Kakek pergi dulu ya! Semangat dek!" Ujar sang kakek tua ini sambil menarik gerobak sampahnya yang kotor, bau, dan penuh kotoran, namun tetap dengan senyuman.

No comments:

Post a Comment